Rabu, 04 Februari 2015

Cerpen Remaja

12 RASA 12 DERITA

Teng...teng...teng...
Mendengar bel pulang Marsha adalah orang pertama yang keluar kelas bahkan sebelum Bu Nina mengakhiri pelajarannya.
“ Marsha mau kemana kamu? saya belum menutup pelajaran,” tanya Bu Nina.
“ Iya Bu maaf, soalnya saya buru-buru nenek saya sekarang koma,” jawab Marsha dengan tampang melas.
Rara sahabat Marsha dari SMP hanya bisa bengong ditempat duduknya mendengar perkataan Marsha ‘bukannya nenek Marsha udah meninggal?’ batin Rara.
“ Oh gitu ya, ya udah kamu boleh pulang semoga nenek kamu cepet sembuh ya?”
Marsha memang sangat cerdik dan cekatan. Walaupun masih 5 bulan dia sekolah di SMA Perdana tapi dia sudah mengenal seluk beluk SMA tersebut dengan sangat baik. Dan dia juga tahu kalau Bu Nina adalah guru yang paling mellow. Jadi kalau pengen bolos terus kepergok sama guru satu ini kita tinggal kasih alasan yang paling mengharukan. Beres deh semua urusan.
            Terdengar tepuk tangan meriah dari penonton di GOR Menara Jingga. Marsha semakin mempercepat langkah kakinya. Sampai didalam GOR Marsha langsung mencari tempat duduk. Ya...Marsha memang maniak basket. Jadi kalau ada pertandingan basket dia akan bela-belain datang. Kebetulan hari ini tim andalannya tanding. Mata Marsha langsung mencari sosok sang kapten. Beberapa detik kemudian..ya. Disana. Cowok dengan tubuh proporsional, rambut spike, kulit putih, berwajah Idonesia-Jerman dan tentunya dengan skill basket yang luar biasa. Itu semua lebih dari cukup untuk membuat dirinya menjadi sorotan penonton terutama remaja cewek. Nggak munafik Marsha juga salah satu dari remaja cewek tersebut, tapi Marsha bukan nge-fans karena penampilannya melainkan karena skill basketnya yang diatas rata-rata anak seumurannya.
            Hari sudah mulai gelap saat Marsha keluar dari GOR. Saat itu jalanan sangat sepi, tapi Marsha sudah terbiasa, soalnya hampir setiap hari dia pulang sekitar jam 5 sore. Maklum walaupun Marsha masih kelas X tapi dia sudah mendapat jabatan penting di OSIS. Tapi kali ini beda Marsha merasa ada yang mengikutinya. Saat Marsha mencoba menghapus pikiran negatifnya saat itu juga dia merasakan tasnya ditarik dan yang benar saja tas Marsha dicopet.
“ Aduh, hei balikin tas gue” teriak Marsha sambil meringis kesakitan karena tangannya disenggol keras sekali.
“ Lo nggak papa kan?” tanya seorang cowok. Marsha belum melihat siapa dia soalnya Marsha lagi konsentrasi pada luka memar di tangannya.
“Nggak papa, tas ...tas gue gimana?” jawab Marsha sambil mendongak. Hampir saja mata Marsha copot karena saking maksimalnya mata Marsha melotot. Speechless.
“Rumah lo dimana biar gue anter pulang” jawab cowok itu yang ternyata adalah kapten tim basket andalannya.
“Ng...ngggak usah. Makasih gue bisa pulang sendiri” jawab Marsha gugup.
“Naik apa?” tanya sang kapten.
“Bus” jawab Marsha singkat.
“Dompetnya lo taruh di tas atau....” belum sempat sang kapten menyelesaikan kalimatnya tapi Marsha sudah memotongnya.
“Oh..iya dompet gue kan di tas. Aduh..gimana dong?” Marsha mulai panik.
“Makanya gue anter pulang” ulang sang kapten.
“Ng..gimana ya.. oh gini aja gimana kalau gue pinjem uang lo dulu. Besok gue kembaliin , tapi besok lo dateng ke sekolah gue. Gimana?” tanya Marsha.
“Ya udah deh nih. Tapi bener ya dibalikin awas kalau nggak” kata sang kapten.
“Iya..bawel banget sih, ya udah gue duluan” pamit Marsha tapi tidak ada jawaban.
‘Hati-hati ya..’ batin sang kapten. Marsha nggak tahu kalau ada sepasang mata yang memastikan keselamatannya.
 “Sha..lo kok gitu sih beli tas nggak ngajak-ngajak gue?” rengek Rara.
“Lo tuh ya dari dulu sifat childish lo tetep nggak hilang-hilang” jawab Marsha sebal.
“Kemarin tas gue dicopet, semua barang-barang gue lenyap” lanjut Marsha.
“Ya ampun...kasihan banget sih sahabat gue ini” Rara memeluk Marsha.
“Ih...nggak usah berlebihan gitu deh. Sekarang gue bingung nih” ucap Marsha sambil  duduk di bangku depan kelas.
“Bingung kenapa?PR?udah lo nyalin punya gue aja” jawab Rara polos.
“Bukan gitu, waktu gue dicopet ada cowok yang nolongin gue. Kemarin gue bilang sama dia kalau gue mau ngembaliin uangnya hari ini dan gue nyuruh dia dateng ke sekolah kita” jelas Marsha panjang lebar.
“Cowok Sha?ganteng nggak???”tanya Rara antusias dengan wajah innocent.
“Hiihh..Rara... temen lagi susah juga malah mikirin hal yang nggak penting” Marsha jengkel.
“Hehe..terus apa yang lo bingungin? tinggal ngasih uangnya. Beres.” Ucap Rara.
“Masalahnya kemarin gue lupa ngasih tahu alamat sekolah kita, kemarin gue nggak sempet kenalan” Marsha putus asa.
Marsha sempat berfikir kalau dia mau ngembaliin uangnya pekan depan waktu tim basketnya tanding. Tapi Marsha kemarin sudah janji mau ngasih uangnya hari ini.
“Ya udahlah dipikirin nanti aja sekarang ke kantin dulu yuk gue laper banget” Rara meringis pada Marsha.
“Dasar!!!!”Marsha memukul pelan lengan Rara.
****
Teng...teng...teng...
“Ra..gimana lo jadi nganterin gue kan?” tanya Marsha sambil beresin buku.
“Iya..cantik” Rara mengerlingkan matanya pada Marsha.
“ Sip deh lo emang sahabat gue yang paling baiiikkk” Marsha mencubit pipi Rara.
Marsha dan Rara jalan berdampingan ke gerbang. Marsha sibuk dengan pikirannya, dia memutar keras otaknya untuk menemukan jalan keluar dari masalahnya ini. Tiba-tiba...
“Tada.....Marsha cantik”
“Aaaa...” teriak Marsha.
Kali ini yang muncul adalah salah seorang cowok yang tergila-gila sama Marsha. Andi namanya. Ya..selain pintar, prestasi yang mendukung, punya jabatan berpengaruh di OSIS, Marsha juga masuk daftar salah satu cewek yang paling cantik di SMA Perdana. Jadi nggak heran kalau setiap hari dia dapat kejutan seperti ini. Tapi yang ini beda, Marsha ill feel banget sama cowok satu ini. Soalnya dia selalu ngasih kejutan yang aneh-aneh. Seperti sekarang dia ngasih cecak dihadapan Marsha walaupun Marsha nggak takut sama cecak tapi itu membuat jantung Marsha hampir copot.
“Lo tuh ya selalu bikin orang sport jantung” timpal Rara.
“Emang kenapa cecak kan lucu. Iya kan Marsha cantik?” tanya Andi, mendekat pada Marsha.
“E.N.G.G.A.K. sama sekali, udah deh mending sekarang lo minggir gue lagi buru-buru.” Ucap Marsha ketus sambil beranjak pergi dan menarik tangan Rara.
“Eh..tunggu bentar Sha, ayah gue telpon” ucap Rara tiba-tiba. Setelah menerima telpon muka Rara pucat pasi.
“Kenapa Ra?” Marsha khawatir melihat perubahan raut wajah Rara.
“Sha...sorry gue nggak bisa nganter lo solanya bunda masuk rumah sakit asmanya kambuh” jelas Rara sambil menahan tangis.
“Iya..nggak pa-pa salam buat bunda lo ya,” ucap Marsha.
“Iya” jawab Rara pendek kemudian pergi.
Sedetik kemudian Marsha ingat kalau dia punya masalah sendiri yang belum diselesaikan.
“Eh, Sha mau kemana?” teriak Andi.
“Bukan urusan lo” Marsha semakin mempercepat larinya. Sampai didepan gerbang Marsha kaget. Ya.. disana orang yang membuat dirinya tidak konsen sekolah hari ini. Dengan napas tersengal-sengal Marsha mendatangi orang tersebut.
“Cepetan jalan” Marsha duduk di boncengan motor cowok tersebut.
“Lo kira gue ojek apa?” jawab cowok tersebut.
“Ya udah pokoknya jalan gue dikejar sama orang sinting tuh” kata Marsha sambil menunjuk Andi yang semakin mendekat. Sedetik kemudian cowok tersebut yang ternyata adalah sang kapten langsung menyalakan motornya dan melesat.
Di perjalanan hanya keheningan yang menemani mereka. Sampai akhirnya suara Marsha memecah keheningan.
Bay the way lo tahu darimana sekolah gue?”
“Eh. Ya tahu lah masa gitu aja nggak tahu” jawab sang kapten gugup.
Marsha nggak tahu kalau sebenarnya sang kapten mengetahui banyak tentang kehidupannya. Dan setiap sang kapten tanding dia selalu menanti-nanti kedatangan Marsha. Semua itu berawal dari bertemunya mereka disalah satu tempat wisata di Lombok sekitar enam bulan lalu. Waktu itu Marsha bener-bener banyak masalah makanya dia mengajak Rara liburan ke Lombok. Awalnya sang kapten tertarik dengan senyum Marsha yang ‘jujur’. Dan akhirnya sang kapten memutuskan ingin mengenal lebih jauh tentang Marsha. Tapi keadaan saat itu tidak memungkinkan, dia sempat putus asa. Tapi waktu pulang ke Bandung dia bertemu lagi sama Marsha di swalayan. Dari sinilah sang kapten tahu kalau Marsha juga tinggal di Bandung.
“Heh..”teriak Marsha.
“Apa??” sang kapten tersadar dari lamunannya.
“Lo melamun ya? Gimana sih tadi akan gue tanya dari mana lo tahu sekolah gue?” ulang Marsha.
“Lo udah makan ?” sang kapten mengalihkan pembicaraan.
“Udah”jawab Marsha singkat.
“Ya udah kita mampir makan bentar” jawab sang kapten.
“Lo budek atau gimana sih. Gue bilang gue udah makan” tegas Marsha.
“Ya udah lo temenin gue makan” paksa sang kapten.
“Auk ah..”Marsha sebal.
Sang kapten tersenyum puas.
****
“Bener nih lo nggak makan?” tanya sang kapten waktu memesan makanan.
Marsha diam.
“Ngomong-ngomong. Dino” kata sang kapten sambil mengulurkan tangan, Marsha melirik sebentar lalu..
“Marsha” Marsha menyambut uluran tangan Dino.
‘gue udah tahu’ batin Dino.
Mereka makan di restaurant favorit Dino. Nggak tahu kenapa tiba-tiba Marsha merasa nyaman di restaurant ini, ‘mungkin karena gaya arsitekturnya yang hommy kali ya?’ batin Marsha. Dan rasanya semua rasa jengkel yang dia rasakan tadi lenyap entah kemana.
“Nyaman ya tempatnya, lo sering kesini?” tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Marsha.
“Iya lah ini kan tempat favorit gue” jawab Dino.
“Ow..” Marsha menggumam.
Menit-menit berikutnya pembicaraan mereka mengalir begitu saja. Nggak tahu kenapa Marsha merasa nyaman sama Dino padahal beberapa menit yang lalu Marsha sangat jengkel sama Dino.
Dino mengantar Marsha sampai rumah.
“Nih,” Marsha menyodorkan uang sepuluh ribu, hutangnya pada Dino kemarin.
“Udah nggak usah, gue ikhlas kok tenang aja” Dino menolak.
“Nggak bisa gitu dong hutang tetep hutang, nih terima” Marsha tetep ngotot.
“Iya..iya..” walaupun masih beberapa jam lalu Dino berbincang-bincang sama Marsha tapi dia sudah bisa mengenal karakter Marsha. Semakin ditolak semakin ngotot.
“Gitu dong..makasih ya” ucap Marsha.
“Besok lo sekolah naik apa?” tanya Dino.
“Belum tahu juga sih, tapi kayaknya naik bus deh soalnya papa besok ke Jakarta” jelas Marsha.
“Kalau gue jemput gimana?” tanya Dino.
“Boleh juga, berarti besok gue bisa jajan banyakan dikit ya?” canda Marsha.
Dino tertawa renyah. Dan itu membuat Marsha menyadari kalau Dino sang kapten tim basket andalannya itu bener-bener berkharisma. Singkatnya Marsha sempat melting melihat senyum renyah Dino.
“Ya udah gue pulang. Bye” ucap Dino.
Marsha melambaikan tangannya.
****
Semenjak berkenalan dengan Dino hidup Marsha terasa lebih berwarna. Selama enam bulan terakhir ini Dino full mengantar jemput Marsha. Tapi selama enam bulan ini juga Dino masih memendam perasaannya dan belum menceritakan semuanya pada Marsha. Kemarin lusa terakhir Marsha ujian akhir semester, itu berarti Marsha pasti akan sangat sibuk dengan kegiatan OSIS nya karena diakhir semester seperti ini pasti banyak kegiatan untuk mengisi liburan. Tidak seperti kemarin pulang jam 9 malam, hari ini Marsha pulang jam 4 sore karena semua tugas sudah selesai dan tinggal besok pelaksanaannya.
“Hei..” sapa Dino yang udah nunggu sejam lalu.
“Hai..udah lama?” Marsha mendekat.
“Kalau dari jam 3 kira-kira lama nggak?” canda Dino.
“Hehe..maaf deh” Marsha meringis.
“Kamu belum makan kan? Pasti belum? Harus belum dong..” ucap Dino.
“Dasar..kamu tuh ya.. Ya udah kita makan dulu” jawab Marsha.
Ya.Nggak tahu mulai kapan, yang jelas 6 bulan itu ternyata cukup membuat mereka untuk ber-‘aku kamu ‘. Seperti biasa mereka makan di restaurant waktu itu.
“Jam malam kamu sampai jam berapa?” tanya Dino ditengah-tengah makan.
“Kenapa emangnya?” Marsha balik bertanya.
“Aku mau ngajak kamu jalan hari ini” terang Dino.
“Oh..sampai jam 10. Emangnya kamu mau ngajak aku kemana?” Marsha penasaran.
Surprise” jawab Dino sambil pura-pura berbisik.
Mereka berdua tertawa.
****
            Tidak seperti biasanya, kali ini sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Hati Marsha berdebar tidak keruan, Marsha juga tidak tahu alasan kenapa jantungnya berdebar sekencang ini. Sebenarnya tempat yang mereka tuju cukup jauh, tapi karena Dino mengendarai motor seperti mengendarai roket jadi tidak begitu terasa. Dan Marsha terkejut ketika tahu kalau Dino mengajaknya ke pantai ‘gimana Dino bisa tahu kalau aku suka banget sama pantai? Apalagi ini jamnya tepat banget untuk melihat sunset’ batin Marsha senang. Tanpa disuruh setelah Dino meletakkan motornya Marsha langsung berlari menuju bibir pantai.
“Kok kamu tahu kalau aku suka pantai?” tanya Marsha ketika Dino sudah berdiri disampingnya.
“Marsha Vellinandra lahir di Bandung tanggal 12 Juni 1997, suka banget sama cokelat apalagi kalau lagi stres, pasti bisa menghabiskan sepuluh sampai lima belas batang cokelat. Ada lagi yang paling dia suka yaitu ke pantai apalagi melihat sunrise or sunsetdisana. Aku ketemu pertama sama Marsha sekitar setahun lalu di Lombok. Senyum dia bagaikan solusi untuk persoalan setiap orang yang memandangnya. Yang aku salut dari dia adalah sebanyak dan seberat apapun masalah yang sedang dia hadapi pasti dia akan tetap terseyum untuk orang-orang disekitarnya..” semua kata-kata yang dipendam Dino selama satu tahun ini meluncur sudah.
 Marsha berusaha untuk menahan air matanya, ‘bagaimana bisa dia mengetahui semua tentang aku? Mungkinkah rasa ini nggak sendirian? Mungkinkah rasa dia yang akan menemani rasa ini?’ batin Marsha berkecamuk. Selama 6 bulan terakhir ini bersama, Marsha sadar kalau dia benar-benar jatuh cinta dengan Dino. Tapi Marsha berusaha untuk memendam perasaan itu sedalam-dalamnya. Dia tahu orang se-perfect Dino tidak mungkin mempunyai rasa padanya. Tapi hari ini seperti ada lubang besar harapan bagi Marsha.
“Jadi waktu aku liburan di Lombok kamu juga disana?” Marsha setengah mati menahan butiran air mata yang sudah memenuhi kelopak matanya.
“Iya, dan saat itu juga aku bertekad untuk mencari tahu semuanya tentang kamu” pandangan Dino menerawang jauh ke pantai.
Marsha sendiri masih berusaha mengatur napas dan berusaha semakin keras untuk menahan air matanya dia nggak mau kalau Dino sampai melihatnya menangis.
“Sha....” panggil Dino lirih.
“Hmm..”Marsha menoleh.
“Ada satu rasa dalam hatiku yang sulit dituliskan dengan kata-kata, mungkin ini cukup bisa membantuku menjelaskan rasa ini” Dino memberikan pigura yang berisi semua foto-foto Marsha dalam berbagai pose dan moment yang berbeda-beda. Marsha benar-benar terkejut. Dino mengambil semua foto Marsha dalam satu tahun ini dan di marger dalam satu pigura yang indah dengan bingkai bunga mawar putih, bunga kesukaan Marsha.
"Setelah melihat foto-foto itu ada nggak satu rasa untukku?” tanya Dino, Marsha menatap mata Dino lekat-lekat.
“Ada” jawab Marsha pendek.
“Bolehkah aku memintanya untuk menemani rasaku?” jantung Dino berdebar kencang.
Marsha sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa mengangguk dan butiran-butiran bening membasahi pipinya, air mata yang dia tahan kini tak terbendung lagi. Dino tersenyum lega, dia memeluk Marsha begitu erat.
Marsha ingin mesin waktu dihentikan sekarang juga. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan buat Marsha dan tentunya Dino. Pantai ini dan sunset hari ini yang menjadi saksi bersatunya rasa dan derita yang mereka pendam selama satu tahun terakhir.



TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar