12 RASA 12
DERITA
Teng...teng...teng...
Mendengar
bel pulang Marsha adalah orang pertama yang keluar kelas bahkan sebelum Bu Nina
mengakhiri pelajarannya.
“ Marsha mau kemana kamu? saya
belum menutup pelajaran,” tanya Bu Nina.
“ Iya Bu maaf, soalnya saya
buru-buru nenek saya sekarang koma,” jawab Marsha dengan tampang melas.
Rara sahabat Marsha dari SMP
hanya bisa bengong ditempat duduknya mendengar perkataan Marsha ‘bukannya nenek
Marsha udah meninggal?’ batin Rara.
“ Oh gitu ya, ya udah kamu
boleh pulang semoga nenek kamu cepet sembuh ya?”
Marsha memang sangat cerdik
dan cekatan. Walaupun masih 5 bulan dia sekolah di SMA Perdana tapi dia sudah
mengenal seluk beluk SMA tersebut dengan sangat baik. Dan dia juga tahu kalau
Bu Nina adalah guru yang paling mellow.
Jadi kalau pengen bolos terus kepergok sama guru satu ini kita tinggal kasih
alasan yang paling mengharukan. Beres deh semua urusan.
Terdengar tepuk tangan meriah dari penonton di GOR Menara
Jingga. Marsha semakin mempercepat langkah kakinya. Sampai didalam GOR Marsha
langsung mencari tempat duduk. Ya...Marsha memang maniak basket. Jadi kalau ada
pertandingan basket dia akan bela-belain datang. Kebetulan hari ini tim
andalannya tanding. Mata Marsha langsung mencari sosok sang kapten. Beberapa
detik kemudian..ya. Disana. Cowok dengan tubuh proporsional, rambut spike,
kulit putih, berwajah Idonesia-Jerman dan tentunya dengan skill basket yang luar biasa. Itu semua lebih dari cukup untuk
membuat dirinya menjadi sorotan penonton terutama remaja cewek. Nggak munafik
Marsha juga salah satu dari remaja cewek tersebut, tapi Marsha bukan nge-fans karena penampilannya melainkan
karena skill basketnya yang diatas
rata-rata anak seumurannya.
Hari sudah mulai gelap saat Marsha keluar dari GOR. Saat
itu jalanan sangat sepi, tapi Marsha sudah terbiasa, soalnya hampir setiap hari
dia pulang sekitar jam 5 sore. Maklum walaupun Marsha masih kelas X tapi dia
sudah mendapat jabatan penting di OSIS. Tapi kali ini beda Marsha merasa ada
yang mengikutinya. Saat Marsha mencoba menghapus pikiran negatifnya saat itu
juga dia merasakan tasnya ditarik dan yang benar saja tas Marsha dicopet.
“ Aduh, hei balikin tas gue”
teriak Marsha sambil meringis kesakitan karena tangannya disenggol keras
sekali.
“ Lo nggak papa kan?” tanya
seorang cowok. Marsha belum melihat siapa dia soalnya Marsha lagi konsentrasi
pada luka memar di tangannya.
“Nggak papa, tas ...tas gue
gimana?” jawab Marsha sambil mendongak. Hampir saja mata Marsha copot karena
saking maksimalnya mata Marsha melotot. Speechless.
“Rumah lo dimana biar gue
anter pulang” jawab cowok itu yang ternyata adalah kapten tim basket
andalannya.
“Ng...ngggak usah. Makasih
gue bisa pulang sendiri” jawab Marsha gugup.
“Naik apa?” tanya sang
kapten.
“Bus” jawab Marsha singkat.
“Dompetnya lo taruh di tas
atau....” belum sempat sang kapten menyelesaikan kalimatnya tapi Marsha sudah
memotongnya.
“Oh..iya dompet gue kan di
tas. Aduh..gimana dong?” Marsha mulai panik.
“Makanya gue anter pulang”
ulang sang kapten.
“Ng..gimana ya.. oh gini aja
gimana kalau gue pinjem uang lo dulu. Besok gue kembaliin , tapi besok lo
dateng ke sekolah gue. Gimana?” tanya Marsha.
“Ya udah deh nih. Tapi bener
ya dibalikin awas kalau nggak” kata sang kapten.
“Iya..bawel banget sih, ya
udah gue duluan” pamit Marsha tapi tidak ada jawaban.
‘Hati-hati ya..’ batin sang
kapten. Marsha nggak tahu kalau ada sepasang mata yang memastikan
keselamatannya.
“Sha..lo kok gitu sih beli tas nggak
ngajak-ngajak gue?” rengek Rara.
“Lo tuh ya dari dulu sifat childish
lo tetep nggak hilang-hilang” jawab Marsha sebal.
“Kemarin tas gue dicopet,
semua barang-barang gue lenyap” lanjut Marsha.
“Ya ampun...kasihan banget
sih sahabat gue ini” Rara memeluk Marsha.
“Ih...nggak usah berlebihan
gitu deh. Sekarang gue bingung nih” ucap Marsha sambil duduk di bangku depan kelas.
“Bingung kenapa?PR?udah lo
nyalin punya gue aja” jawab Rara polos.
“Bukan gitu, waktu gue
dicopet ada cowok yang nolongin gue. Kemarin gue bilang sama dia kalau gue mau
ngembaliin uangnya hari ini dan gue nyuruh dia dateng ke sekolah kita” jelas
Marsha panjang lebar.
“Cowok Sha?ganteng
nggak???”tanya Rara antusias dengan wajah innocent.
“Hiihh..Rara... temen lagi
susah juga malah mikirin hal yang nggak penting” Marsha jengkel.
“Hehe..terus apa yang lo
bingungin? tinggal ngasih uangnya. Beres.” Ucap Rara.
“Masalahnya kemarin gue lupa
ngasih tahu alamat sekolah kita, kemarin gue nggak sempet kenalan” Marsha putus
asa.
Marsha sempat berfikir kalau
dia mau ngembaliin uangnya pekan depan waktu tim basketnya tanding. Tapi Marsha
kemarin sudah janji mau ngasih uangnya hari ini.
“Ya udahlah dipikirin nanti
aja sekarang ke kantin dulu yuk gue laper banget” Rara meringis pada Marsha.
“Dasar!!!!”Marsha memukul
pelan lengan Rara.
****
Teng...teng...teng...
“Ra..gimana lo jadi nganterin
gue kan?” tanya Marsha sambil beresin buku.
“Iya..cantik” Rara
mengerlingkan matanya pada Marsha.
“ Sip deh lo emang sahabat
gue yang paling baiiikkk” Marsha mencubit pipi Rara.
Marsha dan Rara jalan
berdampingan ke gerbang. Marsha sibuk dengan pikirannya, dia memutar keras
otaknya untuk menemukan jalan keluar dari masalahnya ini. Tiba-tiba...
“Tada.....Marsha cantik”
“Aaaa...” teriak Marsha.
Kali ini yang muncul adalah
salah seorang cowok yang tergila-gila sama Marsha. Andi namanya. Ya..selain
pintar, prestasi yang mendukung, punya jabatan berpengaruh di OSIS, Marsha juga
masuk daftar salah satu cewek yang paling cantik di SMA Perdana. Jadi nggak
heran kalau setiap hari dia dapat kejutan seperti ini. Tapi yang ini beda,
Marsha ill feel banget sama cowok
satu ini. Soalnya dia selalu ngasih kejutan yang aneh-aneh. Seperti sekarang
dia ngasih cecak dihadapan Marsha walaupun Marsha nggak takut sama cecak tapi
itu membuat jantung Marsha hampir copot.
“Lo tuh ya selalu bikin orang
sport jantung” timpal Rara.
“Emang kenapa cecak kan lucu.
Iya kan Marsha cantik?” tanya Andi, mendekat pada Marsha.
“E.N.G.G.A.K. sama sekali,
udah deh mending sekarang lo minggir gue lagi buru-buru.” Ucap Marsha ketus
sambil beranjak pergi dan menarik tangan Rara.
“Eh..tunggu bentar Sha, ayah
gue telpon” ucap Rara tiba-tiba. Setelah menerima telpon muka Rara pucat pasi.
“Kenapa Ra?” Marsha khawatir
melihat perubahan raut wajah Rara.
“Sha...sorry gue nggak bisa nganter lo solanya bunda masuk rumah sakit
asmanya kambuh” jelas Rara sambil menahan tangis.
“Iya..nggak pa-pa salam buat
bunda lo ya,” ucap Marsha.
“Iya” jawab Rara pendek
kemudian pergi.
Sedetik kemudian Marsha ingat
kalau dia punya masalah sendiri yang belum diselesaikan.
“Eh, Sha mau kemana?” teriak
Andi.
“Bukan urusan lo” Marsha
semakin mempercepat larinya. Sampai didepan gerbang Marsha kaget. Ya.. disana
orang yang membuat dirinya tidak konsen sekolah hari ini. Dengan napas
tersengal-sengal Marsha mendatangi orang tersebut.
“Cepetan jalan” Marsha duduk
di boncengan motor cowok tersebut.
“Lo kira gue ojek apa?” jawab
cowok tersebut.
“Ya udah pokoknya jalan gue
dikejar sama orang sinting tuh” kata Marsha sambil menunjuk Andi yang semakin
mendekat. Sedetik kemudian cowok tersebut yang ternyata adalah sang kapten
langsung menyalakan motornya dan melesat.
Di perjalanan hanya
keheningan yang menemani mereka. Sampai akhirnya suara Marsha memecah
keheningan.
“Bay the way lo tahu darimana sekolah gue?”
“Eh. Ya tahu lah masa gitu
aja nggak tahu” jawab sang kapten gugup.
Marsha nggak tahu kalau
sebenarnya sang kapten mengetahui banyak tentang kehidupannya. Dan setiap sang
kapten tanding dia selalu menanti-nanti kedatangan Marsha. Semua itu berawal
dari bertemunya mereka disalah satu tempat wisata di Lombok sekitar enam bulan
lalu. Waktu itu Marsha bener-bener banyak masalah makanya dia mengajak Rara
liburan ke Lombok. Awalnya sang kapten tertarik dengan senyum Marsha yang
‘jujur’. Dan akhirnya sang kapten memutuskan ingin mengenal lebih jauh tentang
Marsha. Tapi keadaan saat itu tidak memungkinkan, dia sempat putus asa. Tapi
waktu pulang ke Bandung dia bertemu lagi sama Marsha di swalayan. Dari sinilah
sang kapten tahu kalau Marsha juga tinggal di Bandung.
“Heh..”teriak Marsha.
“Apa??” sang kapten tersadar
dari lamunannya.
“Lo melamun ya? Gimana sih
tadi akan gue tanya dari mana lo tahu sekolah gue?” ulang Marsha.
“Lo udah makan ?” sang kapten
mengalihkan pembicaraan.
“Udah”jawab Marsha singkat.
“Ya udah kita mampir makan
bentar” jawab sang kapten.
“Lo budek atau gimana sih. Gue bilang gue udah makan” tegas Marsha.
“Ya udah lo temenin gue
makan” paksa sang kapten.
“Auk ah..”Marsha sebal.
Sang kapten tersenyum puas.
****
“Bener nih lo nggak makan?”
tanya sang kapten waktu memesan makanan.
Marsha diam.
“Ngomong-ngomong. Dino” kata
sang kapten sambil mengulurkan tangan, Marsha melirik sebentar lalu..
“Marsha” Marsha menyambut
uluran tangan Dino.
‘gue udah tahu’ batin Dino.
Mereka makan di restaurant favorit Dino. Nggak tahu
kenapa tiba-tiba Marsha merasa nyaman di restaurant
ini, ‘mungkin karena gaya arsitekturnya yang hommy kali ya?’ batin Marsha. Dan rasanya semua rasa jengkel yang
dia rasakan tadi lenyap entah kemana.
“Nyaman ya tempatnya, lo
sering kesini?” tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Marsha.
“Iya lah ini kan tempat
favorit gue” jawab Dino.
“Ow..” Marsha menggumam.
Menit-menit berikutnya
pembicaraan mereka mengalir begitu saja. Nggak tahu kenapa Marsha merasa nyaman
sama Dino padahal beberapa menit yang lalu Marsha sangat jengkel sama Dino.
Dino mengantar Marsha sampai
rumah.
“Nih,” Marsha menyodorkan
uang sepuluh ribu, hutangnya pada Dino kemarin.
“Udah nggak usah, gue ikhlas
kok tenang aja” Dino menolak.
“Nggak bisa gitu dong hutang
tetep hutang, nih terima” Marsha tetep ngotot.
“Iya..iya..” walaupun masih
beberapa jam lalu Dino berbincang-bincang sama Marsha tapi dia sudah bisa
mengenal karakter Marsha. Semakin ditolak semakin ngotot.
“Gitu dong..makasih ya” ucap
Marsha.
“Besok lo sekolah naik apa?”
tanya Dino.
“Belum tahu juga sih, tapi kayaknya
naik bus deh soalnya papa besok ke Jakarta” jelas Marsha.
“Kalau gue jemput gimana?”
tanya Dino.
“Boleh juga, berarti besok
gue bisa jajan banyakan dikit ya?” canda Marsha.
Dino tertawa renyah. Dan itu
membuat Marsha menyadari kalau Dino sang kapten tim basket andalannya itu
bener-bener berkharisma. Singkatnya Marsha sempat melting melihat senyum renyah Dino.
“Ya udah gue pulang. Bye”
ucap Dino.
Marsha melambaikan tangannya.
****
Semenjak
berkenalan dengan Dino hidup Marsha terasa lebih berwarna. Selama enam bulan
terakhir ini Dino full mengantar
jemput Marsha. Tapi selama enam bulan ini juga Dino masih memendam perasaannya
dan belum menceritakan semuanya pada Marsha. Kemarin lusa terakhir Marsha ujian
akhir semester, itu berarti Marsha pasti akan sangat sibuk dengan kegiatan OSIS
nya karena diakhir semester seperti ini pasti banyak kegiatan untuk mengisi
liburan. Tidak seperti kemarin pulang jam 9 malam, hari ini Marsha pulang jam 4
sore karena semua tugas sudah selesai dan tinggal besok pelaksanaannya.
“Hei..” sapa Dino yang udah
nunggu sejam lalu.
“Hai..udah lama?” Marsha
mendekat.
“Kalau dari jam 3 kira-kira
lama nggak?” canda Dino.
“Hehe..maaf deh” Marsha
meringis.
“Kamu belum makan kan? Pasti
belum? Harus belum dong..” ucap Dino.
“Dasar..kamu tuh ya.. Ya udah
kita makan dulu” jawab Marsha.
Ya.Nggak tahu mulai kapan,
yang jelas 6 bulan itu ternyata cukup membuat mereka untuk ber-‘aku kamu ‘.
Seperti biasa mereka makan di restaurant
waktu itu.
“Jam malam kamu sampai jam
berapa?” tanya Dino ditengah-tengah makan.
“Kenapa emangnya?” Marsha
balik bertanya.
“Aku mau ngajak kamu jalan
hari ini” terang Dino.
“Oh..sampai jam 10. Emangnya
kamu mau ngajak aku kemana?” Marsha penasaran.
“Surprise” jawab Dino sambil pura-pura berbisik.
Mereka berdua tertawa.
****
Tidak seperti biasanya, kali ini sepanjang perjalanan
mereka hanya diam. Hati Marsha berdebar tidak keruan, Marsha juga tidak tahu
alasan kenapa jantungnya berdebar sekencang ini. Sebenarnya tempat yang mereka
tuju cukup jauh, tapi karena Dino mengendarai motor seperti mengendarai roket
jadi tidak begitu terasa. Dan Marsha terkejut ketika tahu kalau Dino
mengajaknya ke pantai ‘gimana Dino bisa tahu kalau aku suka banget sama pantai?
Apalagi ini jamnya tepat banget untuk melihat sunset’ batin Marsha senang. Tanpa disuruh setelah Dino meletakkan
motornya Marsha langsung berlari menuju bibir pantai.
“Kok kamu tahu kalau aku suka
pantai?” tanya Marsha ketika Dino sudah berdiri disampingnya.
“Marsha Vellinandra lahir di
Bandung tanggal 12 Juni 1997, suka banget sama cokelat apalagi kalau lagi
stres, pasti bisa menghabiskan sepuluh sampai lima belas batang cokelat. Ada
lagi yang paling dia suka yaitu ke pantai apalagi melihat sunrise or sunsetdisana.
Aku ketemu pertama sama Marsha sekitar setahun lalu di Lombok. Senyum dia
bagaikan solusi untuk persoalan setiap orang yang memandangnya. Yang aku salut
dari dia adalah sebanyak dan seberat apapun masalah yang sedang dia hadapi
pasti dia akan tetap terseyum untuk orang-orang disekitarnya..” semua kata-kata
yang dipendam Dino selama satu tahun ini meluncur sudah.
Marsha berusaha untuk menahan air matanya,
‘bagaimana bisa dia mengetahui semua tentang aku? Mungkinkah rasa ini nggak
sendirian? Mungkinkah rasa dia yang akan menemani rasa ini?’ batin Marsha
berkecamuk. Selama 6 bulan terakhir ini bersama, Marsha sadar kalau dia
benar-benar jatuh cinta dengan Dino. Tapi Marsha berusaha untuk memendam
perasaan itu sedalam-dalamnya. Dia tahu orang se-perfect Dino tidak mungkin mempunyai rasa padanya. Tapi hari ini
seperti ada lubang besar harapan bagi Marsha.
“Jadi waktu aku liburan di
Lombok kamu juga disana?” Marsha setengah mati menahan butiran air mata yang
sudah memenuhi kelopak matanya.
“Iya, dan saat itu juga aku
bertekad untuk mencari tahu semuanya tentang kamu” pandangan Dino menerawang
jauh ke pantai.
Marsha sendiri masih berusaha
mengatur napas dan berusaha semakin keras untuk menahan air matanya dia nggak
mau kalau Dino sampai melihatnya menangis.
“Sha....” panggil Dino lirih.
“Hmm..”Marsha menoleh.
“Ada satu rasa dalam hatiku
yang sulit dituliskan dengan kata-kata, mungkin ini cukup bisa membantuku
menjelaskan rasa ini” Dino memberikan pigura yang berisi semua foto-foto Marsha
dalam berbagai pose dan moment yang
berbeda-beda. Marsha benar-benar terkejut. Dino mengambil semua foto Marsha
dalam satu tahun ini dan di marger
dalam satu pigura yang indah dengan bingkai bunga mawar putih, bunga kesukaan
Marsha.
"Setelah melihat
foto-foto itu ada nggak satu rasa untukku?” tanya Dino, Marsha menatap mata
Dino lekat-lekat.
“Ada” jawab Marsha pendek.
“Bolehkah aku memintanya
untuk menemani rasaku?” jantung Dino berdebar kencang.
Marsha sudah tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa mengangguk dan butiran-butiran bening
membasahi pipinya, air mata yang dia tahan kini tak terbendung lagi. Dino
tersenyum lega, dia memeluk Marsha begitu erat.
Marsha ingin mesin waktu
dihentikan sekarang juga. Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan buat
Marsha dan tentunya Dino. Pantai ini dan sunset
hari ini yang menjadi saksi bersatunya rasa dan derita yang mereka pendam
selama satu tahun terakhir.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar