Rabu, 04 Februari 2015

Cerpen Sosial

Rumah Malaikat Kecilku

“Ayah, ini bagaimana caranya?” tanya anak berusia 5 tahun yang bernama Eka sambil menunjuk soal yang dimaksud. Belum sempat sang ayah menjawab pertanyaan tersebut tiba-tiba terdengar teriakan lain.
“Ayah,Ayah, lima dikurangi tiga berapa?” kali ini Ima yang bertanya.
Dengan sabar sang Ayah menjawab satu per satu pertanyaan malaikat-malaikat kecil itu. Ketika ia menjawab pertanyaan tiba-tiba terdengar suara tangisan, jeritan, gaduh, serta suara lain yang anehnya tak pernah membuatnya marah, justru hal itulah yang membuat ia semakin jatuh cinta pada mereka.
Seperti itulah keadaan pondok pintar setiap harinya. Sejatinya malaikat-malaikat kecil itu bukanlah anak kandung Pak Dian melainkan anak asuh. Kepedulian sosialnya sangatlah tinggi. Ia beserta saudaranya mendirikan pondok pintar yang dikhususkan untuk anak jalanan dan kurang mampu. Menyaksikan keceriaan anak-anak itu tiba-tiba ingatan Pak Dian melayang ke 40 tahun silam.
Tergambar jelas masa sulit yang harus ia lalui bersama sang Ibu dan juga ke empat adiknya. Ayahnya meninggal ketika Pak Dian berusia 10 tahun. Profesi ibunya yang hanya seorang buruh cuci membuat hati Pak Dian tergerak untuk membantu ekonomi keluarganya. Ia pun bekerja serabutan sepulang sekolah. Mencari barang bekas, menjadi pengasuh anak tetangga, kuli bangunan, bahkan menjadi seorang pengamen pun pernah ia lakoni. Dia tak pernah malu selama pekerjaan itu halal dan tidak merugikan orang lain. Selain empat orang adiknya ada satu hal lagi yang membuat semangat Pak Dian membara meraih mimpinya yaitu amanah dari bapaknya sebelum meninggal.
“Nak, jika suatu hari bapak pergi kamu harus janji pada bapak ya?” pinta bapak
“Apa pak?” jawab Dian kecil
“Kamu harus jaga ibu dan adik-adikmu. Apapun yang terjadi kalian harus sekolah, bapak yakin  suatu hari nanti anak-anak bapak akan menjadi orang berpengaruh di negeri ini” ucap bapak sambil mengelus rambut Dian kecil.
Walaupun ia sering mendapat ejekan serta hinaan dari tetangga, teman bahkan saudara semangatnya tak pernah surut karena nasehat itu selalu terngiang ditelinganya.
“Sekarang aku memang belum bisa membuktikan, tapi lihat suatu hari nanti aku akan sukses” kata-kata itulah yang selalu ia ucapkan ketika hinaan datang.
Allah memang Maha Adil Dia tak pernah tidur. Kerja keras Pak Dian  tak sia-sia, semua keringatnya terbayar. Empat hotel serta satu restoran berhasil ia bangun bersama ke empat adiknya. Selain itu Pak Dian juga berhasil mewujudkan do’a orang tuanya yaitu menjadi orang yang berpengaruh di negeri ini dengan mendirikan pondok pintar. Pengalamannya menjadi seorang pengamenlah yang menginspirasi Pak Dian. Anak-anak di pondok pintar itu tidak dimintai biaya sepeserpun, bahkan mereka mendapat tempat tinggal serta makan gratis. Fasilitas belajarnya juga lengkap, dan yang terpenting mereka mendpatkan kasih sayang yang utuh dari Pak Dian beserta sang istri.
“Yah, sudah malam kok anak-anak belum tidur?” suara Bu Sinta membuyarkan lamunan Pak Dian.
“Eh, emang ini jamberapa bu?” tanya Pak Dian sedikit gelagapan.
“Jam 10”
“Astaghfirllah, tidak terasa” Pak Dian dan Bu Sinta pun bangkit.
“Sayang sudah malam, ayo semuanya tidur besok kan harus sekolah” kata Bu Sinta.
“Yah..bacain aku dongeng dulu ya?” tidak salah lagi kali ini pasti suara Fifi. Kebiasaan gadis mungil itu sebelum tidur selalu minta dibacakan dongeng.
“Iya, sini sayang mau cerita yang mana?” Pak Dian mendekat.
Lima menit kemudian Fifi terlelap, dipandangnya wajah mungil malaikat kecil itu satu per satu. Ada kedamaian tersendiri dalam hatinya ketika memandang wajah –wajah mugil itu tidur. Rencana Allah itu memang selalu indah sebegitu indahnya sampai nalar kita tak akan pernah mencapainya. 

0 komentar:

Posting Komentar