Rumah Malaikat Kecilku
“Ayah,
ini bagaimana caranya?” tanya anak berusia 5 tahun yang bernama Eka sambil
menunjuk soal yang dimaksud. Belum sempat sang ayah menjawab pertanyaan
tersebut tiba-tiba terdengar teriakan lain.
“Ayah,Ayah,
lima dikurangi tiga berapa?” kali ini Ima yang bertanya.
Dengan
sabar sang Ayah menjawab satu per satu pertanyaan malaikat-malaikat kecil itu.
Ketika ia menjawab pertanyaan tiba-tiba terdengar suara tangisan, jeritan,
gaduh, serta suara lain yang anehnya tak pernah membuatnya marah, justru hal
itulah yang membuat ia semakin jatuh cinta pada mereka.
Seperti
itulah keadaan pondok pintar setiap harinya. Sejatinya malaikat-malaikat kecil
itu bukanlah anak kandung Pak Dian melainkan anak asuh. Kepedulian sosialnya
sangatlah tinggi. Ia beserta saudaranya mendirikan pondok pintar yang
dikhususkan untuk anak jalanan dan kurang mampu. Menyaksikan keceriaan
anak-anak itu tiba-tiba ingatan Pak Dian melayang ke 40 tahun silam.
Tergambar
jelas masa sulit yang harus ia lalui bersama sang Ibu dan juga ke empat
adiknya. Ayahnya meninggal ketika Pak Dian berusia 10 tahun. Profesi ibunya
yang hanya seorang buruh cuci membuat hati Pak Dian tergerak untuk membantu
ekonomi keluarganya. Ia pun bekerja serabutan sepulang sekolah. Mencari barang
bekas, menjadi pengasuh anak tetangga, kuli bangunan, bahkan menjadi seorang
pengamen pun pernah ia lakoni. Dia tak pernah malu selama pekerjaan itu halal
dan tidak merugikan orang lain. Selain empat orang adiknya ada satu hal lagi
yang membuat semangat Pak Dian membara meraih mimpinya yaitu amanah dari
bapaknya sebelum meninggal.
“Nak,
jika suatu hari bapak pergi kamu harus janji pada bapak ya?” pinta bapak
“Apa
pak?” jawab Dian kecil
“Kamu
harus jaga ibu dan adik-adikmu. Apapun yang terjadi kalian harus sekolah, bapak
yakin suatu hari nanti anak-anak bapak
akan menjadi orang berpengaruh di negeri ini” ucap bapak sambil mengelus rambut
Dian kecil.
Walaupun
ia sering mendapat ejekan serta hinaan dari tetangga, teman bahkan saudara
semangatnya tak pernah surut karena nasehat itu selalu terngiang ditelinganya.
“Sekarang
aku memang belum bisa membuktikan, tapi lihat suatu hari nanti aku akan sukses”
kata-kata itulah yang selalu ia ucapkan ketika hinaan datang.
Allah
memang Maha Adil Dia tak pernah tidur. Kerja keras Pak Dian tak sia-sia, semua keringatnya terbayar.
Empat hotel serta satu restoran berhasil ia bangun bersama ke empat adiknya.
Selain itu Pak Dian juga berhasil mewujudkan do’a orang tuanya yaitu menjadi
orang yang berpengaruh di negeri ini dengan mendirikan pondok pintar.
Pengalamannya menjadi seorang pengamenlah yang menginspirasi Pak Dian.
Anak-anak di pondok pintar itu tidak dimintai biaya sepeserpun, bahkan mereka
mendapat tempat tinggal serta makan gratis. Fasilitas belajarnya juga lengkap,
dan yang terpenting mereka mendpatkan kasih sayang yang utuh dari Pak Dian
beserta sang istri.
“Yah,
sudah malam kok anak-anak belum tidur?” suara Bu Sinta membuyarkan lamunan Pak
Dian.
“Eh,
emang ini jamberapa bu?” tanya Pak Dian sedikit gelagapan.
“Jam
10”
“Astaghfirllah,
tidak terasa” Pak Dian dan Bu Sinta pun bangkit.
“Sayang
sudah malam, ayo semuanya tidur besok kan harus sekolah” kata Bu Sinta.
“Yah..bacain
aku dongeng dulu ya?” tidak salah lagi kali ini pasti suara Fifi. Kebiasaan
gadis mungil itu sebelum tidur selalu minta dibacakan dongeng.
“Iya,
sini sayang mau cerita yang mana?” Pak Dian mendekat.
Lima
menit kemudian Fifi terlelap, dipandangnya wajah mungil malaikat kecil itu satu
per satu. Ada kedamaian tersendiri dalam hatinya ketika memandang wajah –wajah
mugil itu tidur. Rencana Allah itu memang selalu indah sebegitu indahnya sampai
nalar kita tak akan pernah mencapainya.
0 komentar:
Posting Komentar