Rabu, 28 Januari 2015

Cerpen Sosial


Telaga Harapan
Ciiiiiiitt...braaaakk.....
“Suara apa itu Ra?” teriak Sisi yang sedang memasak di dapur.
“Si, Nina ditabrak mobil” Ara menghampiri Sisi dengan wajah pucat.
“Apa?!” Sisi langsung mematikan kompor dan segera lari keluar rumah. Benar saja Nina tergeletak diaspal dengan bersimbah darah dan tidak sadarkan diri.
“Terus yang nabrak kemana,kabur?” tanya Sisi panik.
“Iya Si, tadi ketika aku keluar orangnya sudah tidak ada” Ara semakin pucat melihat keadaan Dewi.
“Ya sudah cepat ambil motor kita bawa Nina ke puskesmas” kata Sisi.
Untung saja letak rumah mereka dengan puskesmas hanya berjarak tiga kilometer, jadi tidak memerlukan waktu lama untuk sampai disana. Setelah Nina selesai diperiksa, dokter memberitahukan bahwa keadaan Nina baik-baik saja, dia hanya mengalami gegar otak ringan.
“Syukurlah, terima kasih Dok” Sisi menjabat tangan dokter.
Walaupun dokter sudah memberitahukan bahwa keadaan Nina baik-baik saja tetapi masih ada yang membuat hati Sisi gelisah.
“Kamu kenapa Si, dari tadi mondar-mandir?” Ara akhirnya membuka mulut karena terganggu dengan sikap Sisi.
“Aku masih penasaran sama orang yang menabrak Nina Ra. Bagaimanapun caranya kita harus menemukan orang itu. Dia harus bertanggung jawab atas semua yang dia perbuat” kata Sisi emosi.
“Menurut aku kita tidak perlu memperpanjang masalah ini Si, toh Nina juga baik-baik saja” Ara mencoba menenangkan.
“Si, Ra, bagaimana keadaan Nina?” tanya Eka yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, membuat kedua sahabatnya itu menghentikan sejenak perdebatan mereka.
“Nina baik-baik saja, kata dokter hanya gegar otak ringan” jawab Ara.
Sisi, Ara dan Eka adalah tiga orang sahabat yang sangat solid. Mereka sudah saling mengenal sejak duduk di kelas 1 SMP. Tiga orang sahabat ini mempunyai jiwa sosial yang sangat tinggi. Bahkan ketika duduk di kelas 2 SMA mereka berhasil mendirikan sebuah sekolah yang menampung anak-anak jalanan disebuah desa terpencil di Kota Bandung. Walaupun sekolah itu tidak sebesar sekolah-sekolah lain didesa tersebut tetapi fasilitasnya lumayan lengkap. Tidak mudah bagi ketiga sahabat itu untuk  mendirikan sekolah yang diberi nama Telaga Harapan ini. Mereka harus menabung selama lima tahun untuk bisa membangun sekolah ini, tentu saja dengan sedikit bantuan dari orang tua mereka. Sekarang sudah banyak pihak swasta yang memberikan bantuan untuk Telaga Harapan. Enam tahun sudah sekolah itu didirikan, dan sekarang muridnya mencapai 56 siswa, salah satunya adalah Nina. Semua anak jalanan yang tinggal disana adalah anak yatim piatu, jadi ketiga sahabat itu terpaksa membeli sebuah rumah didekat Telaga Harapan supaya mudah mengawasi anak-anak dan juga memberikan perhatian yang lebih kepada mereka.
“Kamu kenapa Si?” tanya Eka.
“Pokoknya kita harus cari tahu siapa orang yang menabrak Nina titik” Sisi kembali emosi mendengar pertanyaan itu.
“Sebentar, jadi Nina korban tabrak lari?” Eka bingung.
“Iya Ka, tadi orang yang menabrak Nina sudah tidak ada ketika aku keluar” jelas Ara.
“Tadi kamu kemana sih, kok Nina bisa keluar dari sekolah?” lanjut Ara.
“Maaf, tadi anak-anak aku tinggal sebentar ke warung untuk membeli obat sakit kepala. Jadi aku tidak tahu kalau Nina pergi dan anak-anak juga tidak ada yang kasih tahu aku” Eka menjelaskan dengan wajah penuh penyesalan.
“Sudahlah, itu tidak penting yang penting sekarang kita harus lapor polisi supaya kita mudah mencari tahu siapa yang menabrak Nina” lagi-lagi Sisi emosi.
“Iya Si, aku setuju sama kamu. Ya sudah Ra, kamu jaga Nina. Aku sama Sisi pergi dulu” kata Eka. Ara ingin meredam emosi sahabatnya itu tetapi tidak ada kesempatan karena mereka berdua langsung berhambur keluar ruangan.
“Haaah..ya sudahlah” Ara pasrah. 
          Karena jarak desa mereka dengan kantor polisi lumayan jauh maka Sisi dan Eka memerlukan waktu satu jam untuk bisa sampai disana. Setelah tiba dikantor polisi mereka langsung melaporkan kejadian tadi siang dengan sedetail mungkin. Tetapi polisi sedikit kesulitan karena Sisi dan juga Eka tidak mempunyai petunjuk satu pun tentang orang yang menabrak Nina.
“Apakah tidak ada saksi?” tanya polisi.
“Saya juga kurang tahu Pak, menurut sahabat saya, tidak ada orang sama sekali ketika ia keluar” jelas Sisi.
“Ya baiklah, sementara pengaduan Anda saya tampung. Mohon besuk Anda datang kesini lagi bersama rekan Anda, Ara” kata polisi.
“Iya Pak, terima kasih” jawab Sisi dan Eka hampir bersamaan.
          Keesokan harinya ketiga sahabat itu datang ke kantor polisi dengan membawa seorang saksi. Ternyata waktu kejadian tabrak lari itu ada seorang warga yang melihat semua kejadian dengan jelas.
“Siang Pak, kami kesini membawa saksi. Pak Agus silahkan” ucap Eka.
Pak Agus pun duduk dan polisi memberikan berbagai pertanyaan berhubungan dengan tabrak lari tersebut.
“Sebenarnya saya takut Pak menyebutkan nama orang yang menabrak Nina” jelas Pak Agus.
“Tidak perlu takut Pak Agus kami akan menjaga identitas Anda” polisi tersebut menenangkan Pak Agus.
“Orang itu adalah orang yang berpengaruh di desa kami Pak. Jika ada orang yang berbuat macam-macam sama dia maka bisa dijamin kehidupan keluarganya tidak akan tenang. Dia tidak segan-segan menyakiti orang lain yang sudah mengusik hidupnya. Sebenarnya warga juga tidak tahan dengan sikap dia, tapi mau bagaimana lagi kami tidak punya nyali” jelas Pak Agus panjang lebar. Mendengar penjelasan Pak Agus, ketiga sahabat itu saling berpandangan satu sama lain. Sepertinya mereka tahu siapa orang yang menabrak Nina.
“Baiklah, kembali ke masalah awal. Jadi siapa nama orang yang sudah menabrak Nina?” tanya polisi untuk kesekian kalinya.
“Namanya, Di..di..” ucap Pak Agus sedikit gemetar.
“Baik, terima kasih atas kerjasamanya. Malam ini  kami akan menyelidiki kasusnya” kata polisi mengakhiri introgasi tersebut.
          Pukul sembilan malam ada dua orang polisi yang datang kerumah tiga sahabat itu dan memberi tahu bahwa Pak Didi terbukti bersalah. Betapa terkejutnya mereka. Memang Pak Didi terkenal jahat di desa Sukosari ini, sifatnya yang tidak berperikemanusiaan itu membuat warga resah. Pak Didi juga sudah berulang kali membuat fitnah tentang Telaga Harapan, dan juga mengatakan kalau Telaga Harapan hanyalah sekolah sampah. Banyak cara yang sudah ia lakukan untuk menggusur Telaga Harapan dan tak satu pun dari usaha tersebut yang berhasil. Tetapi kali ini lain, ketiga sahabat itu tak pernah menyangka kalau usaha Pak Didi akan sejauh ini.  Keesokan harinya mereka menerima kabar kalau Pak Didi dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
“Akhirnya, kita bisa hidup tenang” kata Sisi.
“Haaahh, warga juga pasti senang” sahut Eka. Ara hanya tersenyum mendengarnya.
“Oh iya, hari ini kan Nina sudah boleh pulang. Bagaimana kalau kita menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk menyambut dia?” usulan Ara itu langsung disambut acungan dua jempol oleh sahabatnya.
          Bahagia. Itulah kata yang bisa menggambarkan suasana hati Sisi,Ara dan Eka. Bagi mereka berbagi adalah salah satu kebahagiaan yang tak tergantikan. Telaga Harapan akan menjadi simbol persahabatan mereka dan juga salah satu sumber kebahagiaan ketiga sahabat itu juga orang yang tinggal di dalamnya.



2 komentar:

Unknown mengatakan...

semangat ya buat nulisnya

Unknown mengatakan...

hahaha, ini pasti uda kagak ada kerjaan deh, ,ya kan?? :D

Posting Komentar