Jumat, 19 September 2014

Cerpen Remaja

Matahari untuk Bulan
Fifi Tiara

Suara gemuruh penonton yang memekakkan telinga terdengar dari GOR Melati. Hari ini jadwal pertandingan basket antara SMA Permata dan SMA Jingga. Tak heran jika penonton seheboh itu. Pasalnya Angga,sang  kapten tim basket SMA Jingga sangat tampan. Nila berusaha masuk ke barisan paling depan. Nila anak kelas 2 SMA Mawar ini juga merupakan salah satu fans dari sang kapten, tapi bedanya dia tidak berteriak histeris ketika Angga memasukkan bola ke ring, atau antre meminta foto ketika pertandingan usai. Bagi Nila mengagumi seseorang dalam diam itu lebih indah. Tapi jangan salah, bukan berarti Nila tidak mencari tahu tentang Angga sama sekali. Justru bisa dikatakan Nila itu bukan hanya sekedar kagum sama Angga tapi sudah mulai pada tahap cinta.
Pertandingan selesai, Nila ingin segera keluar dari GOR tapi tidak bisa karena pintu keluar yang dibuka hanya satu, sedangkan penontonnya bejibun. Nila tidak habis pikir sama panitianya “maksudnya hanya membuka satu jalan keluar apa sih, bikin bete aja“ gerutu Nila.
“ Hei, Nila” panggil seseorang dari belakang.
“Hei, Amel” Amel teman Nila waktu  SMP dulu.
“Lo juga sering nonton basket juga? Kok gue nggak pernah ngeliat lo ya?” tanya Amel sambil mengingat-ingat.
“Hehe..iya, “ Nila sengaja berbohong karena jika Amel tahu dia hanya menonton saat Angga tanding saja pasti dia curiga. Dia tidak mau Amel tahu soal ini, entah mengapa.
“ Beneran? Mau liat pertandingannya atau kaptennya?” goda Amel.
“Ya pertandinganya lah..” Nila bersusah payah menutupi rasa gugupnya.
 “Ya udah gue ngantre foto dulu ya? Lo ikut nggak?” tanya Amel.
“Nggak deh, gue harus pulang. Bye Amel” Nila segera bergegas.
            Hari Rabu adalah hari yang bikin Nila males masuk sekolah bayangin saja jam pertama sampai jam terakhir mata pelajaran ‘eksak’ semua bisa botak tuh kepala.
“Sayang, nanti pulang sekolah langsung pulang ya, mama sama papa mau ngajak kamu ke rumah temen mama” kata mama Nila ketika sarapan.
“Siap bos,” Nila memang tipe anak penurut bahkan dia memilih jurusan di kelas XI ini pun juga atas saran kedua orang tuanya.
Seperti pesan mamanya, Nila langsung meluncur ke rumah usai sekolah.
“Eh, maaf” ucap seseorang yang menabrak Nila dari belakang, hampir saja Nila jatuh. Orang itu berusaha menangkap tubuh Nila. Ya sekarang Nila berada didalam bus.
“Iya nggak pa-pa makasih” ucap Nila sambil menoleh kebelakang, dan beberapa detik selanjutnya Nila membatu.
“Beneran nggak pa-pa?” orang itu memastikan.
“I..iya..nggak papa kok” ia segera tersadar. Angga, sulit dipercaya kalau sekarang sang kapten itu ada didepan matanya.
Nila segera mencari tempat duduk,tapi tak ada tempat duduk yang kosong. Jadi terpaksa ia berdiri dan ternyata Angga juga tidak mendapat tempat duduk, dia berdiri dibelakang Nila. Sesaat Nila menyesali perbuatannya tadi, kenapa dia bisa sampai bengong, ‘mudah-mudahan tadi wajahku nggak terlihat aneh’ batinnya berharap. Ada satu penumpang yang turun, itu artinya ada satu kursi yang kosong. Tapi sialnya kursi itu berada di samping Angga, Nila hanya bisa melirik kebelakang.
“Kamu mau duduk?” tanyanya, membuat Nila kaget.
“Eh, nggak kok kamu aja, bentar lagi aku turun” jawabku salah tingkah.
“Udah duduk aja, rumah kamu kan masih jauh” kata Angga. Dengan wajah merona Nila mundur dan duduk di kursi itu. Tapi tunggu, kok Angga tahu rumah Nila masih jauh. Satu hal ganjil muncul dalam benak Nila.
Nila langsung ganti pakaian ketika sampai rumah. Karena mama papa sudah rapi menunggu dia di ruang  tamu, 15 menit kemudian Nila turun dia terlihat sangat manis dengan gaun hijau muda selutut dipadu dengan kardigan putih serta high hills senada. Rambutnya yang ia biarkan tergerai begitu saja semakin menambah kesan anggun. Mama papanya sampai kagum melihat penampilan putrinya itu. Dia tidak pernah dandan seheboh ini ketika diajak keluar oleh mereka.
“Ayo ma,pa” ajak Nila.
“Ayo” mama dan papanya menjawab hampir bersamaan.
“Kenapa sih? Aneh ya dandanan aku?” Nila sendiri juga tidak tahu kenapa ia dandan seperti ini. Apa mungkin ini efek dari ketemu Angga ya? Tapi entah mengapa Nila yakin kalau yang dia lakukan ini benar. Ia merasa akan terjadi sesuatu.
“Nggak kok sayang kamu cantik” jawab mama tersenyum penuh arti padaku.
            Nila tiba di rumah teman mamanya itu sekitar pukul 6 sore.
“Mbak Hera..ayo silakan masuk Mas Pram juga..Eh,tunggu sebentar ini....” perkataannya berhenti ketika melihat Nila. Seperti mengingat seseorang dan sepertinya hal yang samajuga dilakukan Nila.
“Iya,ini putriku Nila. Ingat nggak?”mama memecahkan kebingungan.
“Ya ampun..Nila sudah sebesar ini. Tambah cantik aja” puji wanita itu. Nila semakin bingung, Ia mencoba mengingat siapa wanita ini kok kelihatannya sudah kenal betul dengannya. Detik selanjutnya..
“Tante Eni bukan?” tanyanya hati-hati takut salah.
“Iya sayang masak kamu udah lupa sama tante, ya udah ayo masuk”
Pikiran Nila masih menerawang, kalau tante Nila ada disini berarti kemungkinan besar Hanggara juga ada disini. Tiba-tiba wajahnya pucat. Hanggara adalah teman masa kecilnya, dulu mereka selalu main bersama, dan tidak jarang juga berantem. Dia ingat betul semua moment bersama Hanggara. Belum sempat Nila menyelesaikan perdebatan dalam otaknya, satu  permasalahan muncul. Seorang anak laki-laki seumuran dengannya muncul. Dia, anak yang sekarang gabung di ruang tamu bersama kami itu Angga bagimana mungkin?? Jangan-jangan....
“Mbak Eni, ini Angga ya, Wah..sudah besar ya”  Angga menjabat tangan mama.
“Iya..mbak. Nila masa kamu juga lupa sama Angga?”tembak tante Eni.
Nila sontak kaget, dia masih belum bisa mencerna semua kejadian ini. ‘Jadi orang yang selama ini aku kagumi adalah Hanggara?’ lagi-lagi hatiku berkecamuk. Angga yang menyadari situasi ini, langsung pamit untuk mengajak Nila ke gazebo belakang.
“Jadi..?” Nila mulai meminta penjelasan ketika sudah di gazebo.
“Ya, aku Angga. Hanggara Pratama. Orang yang selama ini kamu kagumi skill basketnya, atau bahkan lebih dari kagum?” Angga mencoba menggoda Nila, namun tidak berhasil.
“Beneran lo Hanggara? Terus maksud lo ngomong kayak gitu apa, kok lo juga sampai tahu gue kagum sama Angga” tanya Nila yang lebih terdengar seperti menginterogasi.
“Sini, duduk sebelah gue”. Nila nurut saja. “Jadi gini sebenarnya gue udah lama balik dari Australia, sekitar 4 tahun lalu. Bokap gue meninggal, dan nyokap gue nikah lagi. Lo pasti kenal sama Amel temen lo waktu SMP dia itu adik tiri gue. Sejak gue balik lagi ke Jakarta gue langsung nyari tau alamat rumah lo, gue sering datang kesana bahkan ngobrol berjam-jam sama tante Hera. Tapi gue minta sama beliau jangan kasih tau lo dulu, waktu gue mau ke kamar mandi pintu kamar lo kebuka jadi gue nggak sengaja ngeliat foto-foto gue waktu main basket. Kata tante Hera lo kagum sama Angga, yang nggak lain adalah gue” jelas Angga panjang lebar,dan semua pertanyaan Nila akhirnya terjawab termasuk kejadian di bus tadi siang.
Hening, Nila bingung sekarang. Ia tau ia jatuh cinta pada Angga, dan sekarang mengetahui Angga ternyata adalah Hanggara ingin rasanya ia melupakan cintanya itu tapi bukannya malah hilang malah semakin menjadi. Dari kecil ketika ia berada didekat Hanggara ia selalu merasa nyaman.
“Lo masih inget kalung ini?” Angga memecahkan keheningan. Kalung dengan bandul matahari dan bulan itu memang tidak mewah tapi punya arti yang sangat dalam. Bulan itu punya Hanggara, dan matahari itu punya Nila. Tiba-tiba saja buliran putih membasahi pipi Nila.
“Dasar, bego lo masih nyimpen kalung ini?” Nila tersenyum renyah.
“Ya iyalah,nih. Angga menyodorkan kalung dengan bandul bulan pada Nila.
“Lhoh, bukannya punya gue yang bandul matahari?” Nila bingung.
“ Iya, gue tahu. Karena bandul gue bulan, dan bulan tidak akan pernah bisa bersinar tanpa matahari jadi gue harus selalu memakai ini supaya terus bersinar”tatapan Angga mengunci mata Nila. Nila sempat kikuk.
“Maksudnya?”
“Nila..gue nggak  mau kehilangan matahari gue lagi. Sudah cukup gue redup waktu di Australia, dan gue nggak mau itu terulang lagi. Lo mau kan tetep jadi matahari gue kayak dulu?” Nila terperangah, rasanya ia ingin berteriak pada dunia. Laki-laki yang selama ini ia kagumi sekarang menembaknya? ‘How lucky i am’ batin Nila.
“Asal lo nggak nyebelin aja” Nila berusaha menutupi rasa kikuknya.
“Kalo lo nggak mancing keusilan gue, kayaknya...”
“Kayaknya apa?”
“Kayaknya tetep gue usilin, hahahaha” Angga tertawa lepas.
Akhirnya ia bersinar kembali. Sekarang Nila tahu alasan kenapa ia dandan cantik malam ini. Karena kejadian penting benar-benar terjadi malam ini. Hari ini ia dan Angga jadian. Keduanya menikmati keindahan langit malam di gazebo.
“Nila,”
“Hmm”
“Lo cantik hari ini” puji Angga tulus.
“Ya iyalah gue cantik, kalau nggak mana mungkin banyak cowok yang ngantre pengen jadi pacar gue, makanya lo tuh harus bersyukur bisa dapetin gue”
“Tuh kan lo selalu mancing keusilan gue”
“Hahahaha” Nila tertawa puas.



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Good job ukhtii..
Selamat datang di dunia menulis online, :D

Unknown mengatakan...

thanks at all :)
mohon bimbingannya kak :)

Posting Komentar