Matahari untuk Bulan
Fifi Tiara
Suara gemuruh penonton yang memekakkan telinga
terdengar dari GOR Melati. Hari ini jadwal pertandingan basket antara SMA
Permata dan SMA Jingga. Tak heran jika penonton seheboh itu. Pasalnya
Angga,sang kapten tim basket SMA Jingga
sangat tampan. Nila berusaha masuk ke barisan paling depan. Nila anak kelas 2
SMA Mawar ini juga merupakan salah satu fans dari sang kapten, tapi bedanya dia
tidak berteriak histeris ketika Angga memasukkan bola ke ring, atau antre meminta
foto ketika pertandingan usai. Bagi Nila mengagumi seseorang dalam diam itu
lebih indah. Tapi jangan salah, bukan berarti Nila tidak mencari tahu tentang
Angga sama sekali. Justru bisa dikatakan Nila itu bukan hanya sekedar kagum
sama Angga tapi sudah mulai pada tahap cinta.
Pertandingan selesai, Nila ingin segera keluar
dari GOR tapi tidak bisa karena pintu keluar yang dibuka hanya satu, sedangkan
penontonnya bejibun. Nila tidak habis pikir sama panitianya “maksudnya hanya membuka
satu jalan keluar apa sih, bikin bete aja“ gerutu Nila.
“ Hei, Nila” panggil seseorang dari belakang.
“Hei, Amel” Amel teman Nila waktu SMP dulu.
“Lo juga sering nonton basket juga? Kok gue
nggak pernah ngeliat lo ya?” tanya Amel sambil mengingat-ingat.
“Hehe..iya, “ Nila sengaja berbohong karena
jika Amel tahu dia hanya menonton saat Angga tanding saja pasti dia curiga. Dia
tidak mau Amel tahu soal ini, entah mengapa.
“ Beneran? Mau liat pertandingannya atau
kaptennya?” goda Amel.
“Ya pertandinganya lah..” Nila bersusah payah
menutupi rasa gugupnya.
“Ya udah
gue ngantre foto dulu ya? Lo ikut nggak?” tanya Amel.
“Nggak deh, gue harus pulang. Bye Amel”
Nila segera bergegas.
Hari
Rabu adalah hari yang bikin Nila males masuk sekolah bayangin saja jam pertama
sampai jam terakhir mata pelajaran ‘eksak’ semua bisa botak tuh kepala.
“Sayang, nanti pulang sekolah langsung pulang
ya, mama sama papa mau ngajak kamu ke rumah temen mama” kata mama Nila ketika
sarapan.
“Siap bos,” Nila memang tipe anak penurut
bahkan dia memilih jurusan di kelas XI ini pun juga atas saran kedua orang
tuanya.
Seperti pesan mamanya, Nila langsung meluncur
ke rumah usai sekolah.
“Eh, maaf” ucap seseorang yang menabrak Nila
dari belakang, hampir saja Nila jatuh. Orang itu berusaha menangkap tubuh Nila.
Ya sekarang Nila berada didalam bus.
“Iya nggak pa-pa makasih” ucap Nila sambil
menoleh kebelakang, dan beberapa detik selanjutnya Nila membatu.
“Beneran nggak pa-pa?” orang itu memastikan.
“I..iya..nggak papa kok” ia segera tersadar.
Angga, sulit dipercaya kalau sekarang sang kapten itu ada didepan matanya.
Nila segera mencari tempat duduk,tapi tak ada
tempat duduk yang kosong. Jadi terpaksa ia berdiri dan ternyata Angga juga
tidak mendapat tempat duduk, dia berdiri dibelakang Nila. Sesaat Nila menyesali
perbuatannya tadi, kenapa dia bisa sampai bengong, ‘mudah-mudahan tadi wajahku
nggak terlihat aneh’ batinnya berharap. Ada satu penumpang yang turun, itu
artinya ada satu kursi yang kosong. Tapi sialnya kursi itu berada di samping
Angga, Nila hanya bisa melirik kebelakang.
“Kamu mau duduk?” tanyanya, membuat Nila kaget.
“Eh, nggak kok kamu aja, bentar lagi aku turun”
jawabku salah tingkah.
“Udah duduk aja, rumah kamu kan masih jauh”
kata Angga. Dengan wajah merona Nila mundur dan duduk di kursi itu. Tapi
tunggu, kok Angga tahu rumah Nila masih jauh. Satu hal ganjil muncul dalam
benak Nila.
Nila langsung ganti pakaian ketika sampai
rumah. Karena mama papa sudah rapi menunggu dia di ruang tamu, 15 menit kemudian Nila turun dia
terlihat sangat manis dengan gaun hijau muda selutut dipadu dengan kardigan
putih serta high hills senada. Rambutnya yang ia biarkan tergerai begitu
saja semakin menambah kesan anggun. Mama papanya sampai kagum melihat
penampilan putrinya itu. Dia tidak pernah dandan seheboh ini ketika diajak
keluar oleh mereka.
“Ayo ma,pa” ajak Nila.
“Ayo” mama dan papanya menjawab hampir
bersamaan.
“Kenapa sih? Aneh ya dandanan aku?” Nila sendiri
juga tidak tahu kenapa ia dandan seperti ini. Apa mungkin ini efek dari ketemu
Angga ya? Tapi entah mengapa Nila yakin kalau yang dia lakukan ini benar. Ia
merasa akan terjadi sesuatu.
“Nggak kok sayang kamu cantik” jawab mama
tersenyum penuh arti padaku.
Nila
tiba di rumah teman mamanya itu sekitar pukul 6 sore.
“Mbak Hera..ayo silakan masuk Mas Pram
juga..Eh,tunggu sebentar ini....” perkataannya berhenti ketika melihat Nila.
Seperti mengingat seseorang dan sepertinya hal yang samajuga dilakukan Nila.
“Iya,ini putriku Nila. Ingat nggak?”mama
memecahkan kebingungan.
“Ya ampun..Nila sudah sebesar ini. Tambah
cantik aja” puji wanita itu. Nila semakin bingung, Ia mencoba mengingat siapa
wanita ini kok kelihatannya sudah kenal betul dengannya. Detik selanjutnya..
“Tante Eni bukan?” tanyanya hati-hati takut
salah.
“Iya sayang masak kamu udah lupa sama tante, ya
udah ayo masuk”
Pikiran Nila masih menerawang, kalau tante Nila
ada disini berarti kemungkinan besar Hanggara juga ada disini. Tiba-tiba
wajahnya pucat. Hanggara adalah teman masa kecilnya, dulu mereka selalu main
bersama, dan tidak jarang juga berantem. Dia ingat betul semua moment
bersama Hanggara. Belum sempat Nila menyelesaikan perdebatan dalam otaknya,
satu permasalahan muncul. Seorang anak
laki-laki seumuran dengannya muncul. Dia, anak yang sekarang gabung di ruang
tamu bersama kami itu Angga bagimana mungkin?? Jangan-jangan....
“Mbak Eni, ini Angga ya, Wah..sudah besar
ya” Angga menjabat tangan mama.
“Iya..mbak. Nila masa kamu juga lupa sama
Angga?”tembak tante Eni.
Nila sontak kaget, dia masih belum bisa
mencerna semua kejadian ini. ‘Jadi orang yang selama ini aku kagumi adalah Hanggara?’
lagi-lagi hatiku berkecamuk. Angga yang menyadari situasi ini, langsung pamit
untuk mengajak Nila ke gazebo belakang.
“Jadi..?” Nila mulai meminta penjelasan ketika
sudah di gazebo.
“Ya, aku Angga. Hanggara Pratama. Orang yang
selama ini kamu kagumi skill basketnya, atau bahkan lebih dari kagum?”
Angga mencoba menggoda Nila, namun tidak berhasil.
“Beneran lo Hanggara? Terus maksud lo ngomong
kayak gitu apa, kok lo juga sampai tahu gue kagum sama Angga” tanya Nila yang
lebih terdengar seperti menginterogasi.
“Sini, duduk sebelah gue”. Nila nurut saja.
“Jadi gini sebenarnya gue udah lama balik dari Australia, sekitar 4 tahun lalu.
Bokap gue meninggal, dan nyokap gue nikah lagi. Lo pasti kenal sama Amel temen
lo waktu SMP dia itu adik tiri gue. Sejak gue balik lagi ke Jakarta gue
langsung nyari tau alamat rumah lo, gue sering datang kesana bahkan ngobrol
berjam-jam sama tante Hera. Tapi gue minta sama beliau jangan kasih tau lo
dulu, waktu gue mau ke kamar mandi pintu kamar lo kebuka jadi gue nggak sengaja
ngeliat foto-foto gue waktu main basket. Kata tante Hera lo kagum sama Angga,
yang nggak lain adalah gue” jelas Angga panjang lebar,dan semua pertanyaan Nila
akhirnya terjawab termasuk kejadian di bus tadi siang.
Hening, Nila bingung sekarang. Ia tau ia jatuh
cinta pada Angga, dan sekarang mengetahui Angga ternyata adalah Hanggara ingin
rasanya ia melupakan cintanya itu tapi bukannya malah hilang malah semakin
menjadi. Dari kecil ketika ia berada didekat Hanggara ia selalu merasa nyaman.
“Lo masih inget kalung ini?” Angga memecahkan
keheningan. Kalung dengan bandul matahari dan bulan itu memang tidak mewah tapi
punya arti yang sangat dalam. Bulan itu punya Hanggara, dan matahari itu punya
Nila. Tiba-tiba saja buliran putih membasahi pipi Nila.
“Dasar, bego lo masih nyimpen kalung ini?” Nila
tersenyum renyah.
“Ya iyalah,nih. Angga menyodorkan kalung dengan
bandul bulan pada Nila.
“Lhoh, bukannya punya gue yang bandul
matahari?” Nila bingung.
“ Iya, gue tahu. Karena bandul gue bulan, dan
bulan tidak akan pernah bisa bersinar tanpa matahari jadi gue harus selalu
memakai ini supaya terus bersinar”tatapan Angga mengunci mata Nila. Nila sempat
kikuk.
“Maksudnya?”
“Nila..gue nggak mau kehilangan matahari gue lagi. Sudah cukup
gue redup waktu di Australia, dan gue nggak mau itu terulang lagi. Lo mau kan
tetep jadi matahari gue kayak dulu?” Nila terperangah, rasanya ia ingin berteriak
pada dunia. Laki-laki yang selama ini ia kagumi sekarang menembaknya? ‘How
lucky i am’ batin Nila.
“Asal lo nggak nyebelin aja” Nila berusaha
menutupi rasa kikuknya.
“Kalo lo nggak mancing keusilan gue,
kayaknya...”
“Kayaknya apa?”
“Kayaknya tetep gue usilin, hahahaha” Angga
tertawa lepas.
Akhirnya ia bersinar kembali. Sekarang Nila
tahu alasan kenapa ia dandan cantik malam ini. Karena kejadian penting benar-benar
terjadi malam ini. Hari ini ia dan Angga jadian. Keduanya menikmati keindahan
langit malam di gazebo.
“Nila,”
“Hmm”
“Lo cantik hari ini” puji Angga tulus.
“Ya iyalah gue cantik, kalau nggak mana mungkin
banyak cowok yang ngantre pengen jadi pacar gue, makanya lo tuh harus bersyukur
bisa dapetin gue”
“Tuh kan lo selalu mancing keusilan gue”
“Hahahaha” Nila tertawa puas.
2 komentar:
Good job ukhtii..
Selamat datang di dunia menulis online, :D
thanks at all :)
mohon bimbingannya kak :)
Posting Komentar